Sabtu, 11 Juni 2011

Jawaban Untuk Krisis Keluarga di Barat


Kondisi keluarga di Barat setiap hari semakin mengkhawatirkan. Para psikolog, sosiolog, dan bahkan para pakar politik turut memberikan perhatian mereka kepada dampak-dampak akibat krisis keluarga ini. Keluarga merupakan pembentuk fondasi atau landasan bangunan masyarakat, sehingga keruntuhan atau kelemahan keluarga akan memberikan dampak negatif kepada masyarakat. Di Barat kecenderungan untuk menikah semakin menurun dan usia anak-anak perempuan dan lelaki yang tidak menikah semakin hari semakin meningkat. Akibatnya, terjadi berbagai penyimpangan seksual dan merebaklah berbagai penyakit yang berkaitan dengan kebebasan seks. Selain itu, kebebasan seksual juga mengakibatkan terjadinya berbagai kasus perkosaan, pelecehan seksual, dan aksi kriminal lainnya. Berdasarkan hasil penelitian para psikolog, orang yang tidak memiliki pasangan tetap akan mudah menderita penyakit jiwa dan mental.
Masalah keluarga yang dialami negara-negara Barat tidak terbatas kepada keengganan anak-anak muda untuk menikah dan membentuk keluarga, melainkan juga kerapuhan keluarga yang sudah terbentuk. Artinya, pernikahan di Barat sangat mudah untuk hancur dan perceraian merupakan sebuah jalan yang dengan mudah diambil oleh pasangan-pasangan yang memiliki masalah dalam rumahtangga. Undang-undang pemerintah Barat yang memudahkan perceraian turut membantu meningkatkan angka perceraian ini.
Dampak buruk perceraian meninggalkan dampak negatif yang sangat besar bagi anak-anak. Jumlah anak-anak yang orangtuanya bercerai di AS dan Eropa, semakin hari semakin meningkat. Anak-anak korban perceraian itu hidup dalam depresi dan kehilangan perlindungan dari keluarga. Mereka dengan mudah akan terseret ke dalam pergaulan yang sesat dan tidak jarang terjatuh dalam kegiatan kriminal. Masalah perceraian juga membuat banyak pasangan yang enggan untuk memiliki anak. Akibatnya, dewasa ini angka kelahiran di negara-negara Barat menurun secara drastis. Bahkan sebagian negara Barat mulai khawatir kekurangan penduduk karena warga mereka kebanyakan berusia tua dan jumlah bayi yang lahir sangat sedikit.
Pertanyaan yang timbul adalah, apakah jalan keluar untuk mengatasi krisis keluarga yang berbahaya ini? Paul Vitz, seorang dosen psikolog dari Universitas New York menekankan, pada dasarnya, krisis keluarga di Barat adalah hasil dari pelaksanaan prinsip sekularisme dalam negara. Vitz dalam bukunya mengenai guncangan fondasi keluarga menulis, "Sekularisme adalah ajaran yang ingin menghapuskan Tuhan dan pemahaman spiritualitas. Sekularisme adalah filosofi bagi orang-orang yang terkucil dan terasing untuk membebaskan diri dari dunia yang dipenuhi nilai-nilai Ilahiah. Sekularisme membatasi kehidupan manusia dalam dunia material dan hedonisme. Seiring dengan meluasnya sekularisme, meluas pula krisis spiritualitas dan diikuti dengan krisis keluarga."
Dengan kata lain, prinsip sekularisme, yaitu hedonisme, oportunisme, dan kebebasan, telah membuat individu dan masyarakat hidup tanpa batasan. Akibatnya, masyarakat lebih menyukai hubungan bebas dan enggan untuk memikul tanggung jawab sebuah pernikahan atau memiliki isteri dan anak. Namun, menghadapi krisis ini, pemerintah Barat bukan saja tidak berusaha secara serius untuk membendung berkembangnya paham sekularisme, namun malah mempertahankan paham ini dan menghalangi perkembangan agama. Pemerintah Barat juga mengizinkan hubungan homoseksual dan tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan. Bahkan, dalam masyarakat Barat telah mulai dikembangkan pergeseran makna keluarga, yaitu tidak lagi terbatas pada pernikahan. Menurut versi ini, keluarga adalah kehidupan bersama dua pihak, baik resmi menikah ataupun tidak resmi, baik lain gender maupun dari gender yang sama, atau homoseksual.
Dengan melihat bahwa akar dari krisis keluarga dalam masyarakat Barat adalah sekularisme, maka jawaban yang paling ampuh untuk menyelesaikan krisis ini adalah agama. Berbeda dengan paham sekuler yang membebaskan manusia dari segala macam nilai Ilahiah, agama memberi bimbingan Ilahiah kepada manusia agar dapat menemukan kebahagiaan. Agama memberikan sudut pandang baru kepada manusia mengenai kehidupan, yaitu bahwa hidup bukanlah sekedar di dunia, melainkan ada kehidupan abadi di akhirat. Untuk mencapai kebahagiaan kehidupan abadi di akhirat, manusia harus menjalani hidup di dunia yang sesuai dengan ajaran agama.
Agama memberikan perhatian besar kepada keluarga karena keluarga berperan penting dalam memperbaiki masyarakat dan mengurangi penyimpangan sosial. Di pihak lain, penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan pada agama memainkan peran penting dalam memperkokoh ikatan dan kasih sayang dalam keluarga. Orang yang mempunyai kepercayaan pada agama akan lebih berpegang teguh kepada janji atau ikatan perkawinan, serta tidak mudah mengunakan perceraian sebagai jalan keluar untuk mengatasi masalah. Iman kepada Tuhan akan memberikan kesabaran dan keteguhan kepada manusia dalam menghadapi tekanan kehidupan dan memelihara diri dari pengkhianatan terhadap pasangan mereka.
Islam sebagai agama yang komprehensif dan paling sempurna juga sangat menekankan pembentukan dan pemeliharaan lembaga keluarga. Islam menganggap keluarga sebagai fondasi masyarakat. Rasulullah Muhammad saaw dalam salah satu hadis beliau bersabda, "Dalam Islam, tidak ada lembaga yang lebih baik daripada lembaga perkawinan." Kitab suci Al Quran menyebutkan keluarga sebagai tanda kekuasaan dan rahmat Ilahi serta institusi yang menyediakan ketenteraman untuk perempuan dan lelaki. Dalam Surat Ar-Ruum ayat 21, Allah swt berfirman sbb, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Rasulullah saaw bersabda, "Barang siapa yang menikah, sesungguhnya dia telah memelihara sebagian dari agamanya." Islam sangat memuji orang yang menyediakan peluang dan kemudahan kepada orang yang akan membentuk keluarga. Imam Shadiq a.s. pernah berkata, "Siapa yang menikahkan anak lelaki atau anak perempuannya, Allah akan memberikan rahmat kepadanya pada hari kiamat." Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat memuliakan ikatan suami-isteri.
Islam juga mengajarkan agar suami dan istri sama-sama berusaha menjaga kasih sayang dan kerukunan di antara mereka. Suami yang baik dalam pandangan Islam adalah suami yang bertanggung jawab, penuh kasih sayang, dan memuliakan istrinya. Sebaliknya, istri yang baik dalam pandangan Islam adalah istri yang selalu menjaga kehormatannya, serta memuliakan dan mematuhi suami. Islam juga mengajarkan agar isteri dan suami saling berhias demi menjaga kasih sayang di antara mereka, serta masih banyak lagi ajaran akhlak lain dalam Islam yang berkaitan dengan perkawinan dan rumah tangga.
Selanjutnya, ketika pasangan suami-istri telah dianugerahi anak oleh Allah swt, Islam mengajarkan bahwa anak adalah amanah dari Allah yang harus dijaga sebaik-baiknya. Anak harus diberi kasih sayang dan pendidikan yang benar. Dengan demikian, suami-istri harus berusaha semaksimal mungkin menciptakan lingkungan yang tenteram bagi anak-anaknya. Dengan mematuhi ajaran Islam ini, kehancuran perkawinan akan terhindarkan dan krisis keluarga, sebagaimana yang terjadi di Barat dewasa ini, tidak akan terjadi. (IRIB/RI)

0 komentar:

Posting Komentar