Jumat, 24 Juni 2011

Perkawinan WNI di Luar Negeri

PERATURAN MENTERI AGAMA
NOMOR 1 TAHUN 1994
TENTANG
PENDAFTARAN SURAT BUKTI PERKAWINAN
WARGA NEGARA INDONESIA YANG
DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan pendaftaran surat bukti perkawinan warga negara Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri sebagaimana diatur dalam pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perlu ditetapkan pelaksanaan pendaftaran surat bukti tersebut.
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, Talak dan Rujuk diseluruh luar Jawa dan Madura;
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, Talak dan Rujuk diseluruh luar Jawa dan Madura;
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi departemen;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen dengan segala perubahannya terakhir dengan Nomor 83 Tahun 1993,
7. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah;
8. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama dengan segala perubahannya terakhir dengan Nomor 75 Tahun 1984.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENDAFTARAN SURAT BUKTI PERKAWINAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI.

Pasal 1
Bagi Warga Negara Indonesia beragama Islam yang telah melakukan perkawinan di luar negeri sebagaimana dimaksud pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, paling lambat satu tahun setelah suami istri itu kembali di Wilayah Indonesia, surat bukti perkawinannya harus didaftarkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal mereka.

Pasal 2
Syarat Pendaftaran Surat Bukti Perkawinan sebagaimana dimaksud pasal 1 harus dilengkapi:
1. Surat Keterangan dari Kepala Desa/lurah yang mewilayahi tempat tinggal mereka;
2. Fotocopy pasport dengan memperlihatkan aslinya;
3. Fotocopy dari bukti perkawinan;
4. Fotocopy sertificate Nikah dari KBRI atau fotocopy Akte Nikah dari KBRI atau surat keterangan dari KBRI setempat.
Pasal 3
(1) Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal suami istri tersebut melakukan pemeriksaan seperlunya menurut formulir Daftar Pemeriksaan Nikah (model NL), sebagaimana contoh terlampir;
(2) Apabila PPN ragu tentang keabsahan Perkawinan yang bersangkutan menurut Agama Islam, maka yang bersangkutan dapat dinikahkan kembali menurut hukum Islam.
Pasal 4
Dalam hal yang bersangkutan terlambat mendaftarkan perkawinan di Kantor Urusan Agama Kecamatan dapat mendaftarkan surat bukti perkawinannya setelah lebih dulu membuat pernyataan tertulis bermeterai Rp. 1.000,00,- tentang sebab-sebab keterlambatannya.
Pasal 5
Pendaftaran surat bukti perkawinan sebagaimana dimaksud pasal 1 pada Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dipungut biaya.
Pasal 6
Hal-hal tehnis pelaksanaan Peraturan ini lebih lanjut akan diatur kemudian oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji.
Pasal 7
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 2 April 1994
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA


DR. H. TARMIZI TAHER

Rabu, 22 Juni 2011

Tunjangan Penghulu

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 2007

TENTANG
TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL
PENGHULU


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.    bahwa Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsiopal Penghulu yang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun i974 tentang Perkawinan disebut dengan Pegawai Pencatat Pekawinan, perlu diberikan tunjangan jabatan fungsional yang sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab pekerjaannya;
b.    bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a dan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas kerja Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, dipandang perlu mengatur Tunjangan Jabatan Fungsional Penghulu dengan Peraturan Presiden;

Mengingat:
1.    Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
4.    Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3050);
5.    Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lcmbaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3098) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 25);
6.    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomcr 3547);
7.    Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAL PENGHULU.

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan :
1. Penghulu adalah Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2.  Tunjangan Jabatan Fungsional Penghulu, yang selanjutnya disebut dengan Tunjangan Penghulu adalah tunjangan jabatan fungsional yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Penghulu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 2

Kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Penghulu, diberikan tunjangan Penghulu setiap bulan.

Pasal 3

(1)    Besarnya tunjangan Penghulu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini.
(2)  Tunjangan Penghulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibebankan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2007.

Pasal 4

Pemberian tunjangan Penghulu dihentikan apabila Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diangkat dalam jabatan struktural atau jabatan fungsionallain atau karena hal lain yang mengakibatkan pemberian tunjangan dihentikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Presiden ini, diatur oleh Menteri Keuangan dan/atau Kepala Badan Kcpcgawaian Negara, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri menurut bidang tugasnya masing-masmg.

Pasal 6

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tang gal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Juni 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

                                                            LAMPIRAN
                                                            PERATURAN PRESIDEN REPUBlIK INDONESIA
                                                            NOMOR     : 73 Tahun 2007
                                                            TANGGAL : 28 Juni 2007

                               TUNJANGAN JABATAN FUNGSIONAl PENGHULU


JABATAN FUNGSIONAL
JABATAN
BESARNYA TUNJANGAN

Penghulu

Penghulu Madya

Penghulu Muda

Penghulu Pertama

Rp 500.000,00

Rp 350.000,00

Rp 260.000,00



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Selasa, 21 Juni 2011

WALI HAKIM

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2005
TENTANG
WALI HAKIM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa keabsahan suatu pernikahan menurut agama Islam ditentukan antara lain oleh adanya wali nikah. Karena itu apabila wali nasab tidak ada, atau maqfud (tidak diketahui dimana keberadaannya) atau berhalangan atau tidak memenuhi syarat atau adhal (menolak), maka wali nikahnya adalah wali hakim;
b. bahwa berhubung Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dewasa ini, maka perlu dicabut;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang Wali Hakim;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (Lembaran Negara Tahun 1946 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 694);
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk di seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 694)
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400)
5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
6. Undang-Undang Nomor18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 19745 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3205);
8. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2002 tentang Mahkamah Syari’ah dan Mahkamah Syari’ah Provinsi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam;
9. Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan, Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Departemen Agama yang telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 2002;
10. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
11. Peraturan Presiden Nomor Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2005;
12. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri Nomor 589 Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan warga Negara Indonesia di Luar Negeri.
13. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.
14. Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan;
15. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kntor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 480 Tahun 2003;
16. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M/PAN/6/2005 tentang Jabatan Fngsional Penghulu dan Angka Kreditnya;
17. Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG WALI HAKIM

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Wali Nasab, adalah pria beragama Islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam.
2. Wali Hakim, adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecaatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
3. Penghulu, adalah Pegawai Negeri Sipil sebagai Pegawai Pencatat Nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.

BAB II
PENETAPAN WALI HAKIM
Pasal 2
1. Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim.
2. Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

BAB III
PENUNJUKAN DAN KEDUDUKAN
Pasal 3
1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan ditunjuk menjadi wali hakim untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan ini.
2. Apabila Kepala KUA Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk salah satu Penghulu pada kecamatan tersebut atau terdekat untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
3. Bagi daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh transportasi, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Departemen Agama menunjuk pembantu penghulu pada kecamatan tersebut untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
Pasal 4
1. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang cakap dan ahli serta memenuhi syarat menjadi wali kahim pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan ini.
2. Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilasanakan atas dasar usul Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut.

BAB IV
AKAD NIKAH
Pasal 5
1. Sebelum akad nikah dilangsungkan wali hakim meminta kembali kepada wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya wali.
2. Apabila wali nasabnya tetap adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan wali hakim

BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6
1. Hal-hal yang belum diatur dalam Peratuan ini akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.
2. Dengan berlakunya Peraturan ini, maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengtur tentang wali hakim sejauh telah diatur dalam Peraturan ini dinyatakan tidak berlaku.
3. Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Desember 2005
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA


MUHAMMAD M. BASYUNI